AJAKAN ini sudah saya dengar dari tetangga, kerabat, teman kerja, hingga
tukang ojek, sejak 2004 silam. Alhasil, saya pun akhirnya menjadi orang
yang paling benci dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Pada tahun itu, kesibukan kerja saya hanya berkutat antara
Surabaya-Jakarta, dan sesekali ke Klaten -- menengok orangtua dan tiga
kakak saya yang memang ada di kota tanah kelahiran saya itu.
Apalagi kalau sedang di Klaten, maka ajakan menghindari Partai yang
logonya didominasi warna putih, hitam dan kuning ini semakin kencang.
Bahkan nyaris tidak saya lihat bendera PKS selama saya di pedalaman
Klaten.
Sepanjang perjalanan dan perkampungan, pada setiap menjelang Pemilu,
yang banyak saya lihat adalah bendera berwarna merah, khas dengan kepala
bantengnya.
Ajakan semacam itu, bertambah santer ketika di pojok-pojok kampung saya
banyak anak-anak muda pengangguran nongkrong sambil main kartu.
Merekalah penyambung ajakan yang paling dahsyat yang menyebar luaskan
ajakan tersebut kepada anak-anak muda lainnya. Anak muda yang tidak tahu
menahu seperti saya, banyak yang ikut-ikutan. Siapa anak-anak muda ini?
Anak-anak muda ini adalah lulusan SD hingga SMA yang tidak bisa bekerja,
dan menunggu "kode" dari saudara-saudaranya di Jakarta yang rata-rata
bekerja secara turun temurun sebagai penjual es puter dan tukang
bangunan.
Gerombolan ini sudah ada sejak saya kecil. Biasanya, setelah Idul Fitri
atau setelah Lebaran, mereka akan diajak ke Jakarta untuk menjadi
penjual es puter dan juga tukang bangunan seperti senior-senior mereka.
Yang sering terjadi, para pemuda ini jika pulang ke kampung saat
menjelang Lebaran, bukannya menjadi teladan yang baik, namun sebagian
dari mereka malah mengajarkan kepada para pengangguran di kampung untuk
nongkrong dan main kartu.
Bahkan sebagian lagi tidak punya rasa malu melakukan aksi mabuk-mabukan
semalaman di dekat masjid. Botol-botol miras bergelimpangan saat pagi
harinya. Kegiatan ini sudah saya lihat sejak saya kecil.
Untungnya, kata orang kampung saya agak berbeda dengan remaja
kebanyakan. Sejak SD saya memang merasa tidak nyaman berkelompok dengan
mereka. Saya lebih suka angon wedhus (memelihara kambing) di ladang,
atau ikut orangtua menggarap tanam-tanaman ladang serta mengurusi kebun
kelapa serta menjualnya hasilnya di pasar kota. Bersama kakak-kakak
serta Bapak, biasanya sehabis subuh kami bersama berangkat ke pasar kota
untuk mengantar kelapa-kelapa dan hasil ladang setiap harinya
mengggunakan sepeda ontel tua. Keluarga kami adalah petani kelapa.
Botol Miras Bergelimpangan di Dekat Masjid
Saya tidak tahu. Apakah mungkin ada kesengajaan dari orangtua kami untuk
menghabiskan waktu-waktu bersama mereka agar tidak bertemu dengan
teman-teman yang suka nongkrong di dekat masjid kampung tersebut.
Saya sendiri tahu adanya botol miras bergelimpangan di dekat masjid,
juga karena aktifitas orangtua yang kebanyakan di masjid, maka mau tidak
mau saya juga terbawa kebiasaannya dengan mengikutinya ke masjid setiap
masuk waktu shalat.
Kebetulan kebun-kebun milik keluarga berada di sekitaran masjid sehingga
saat panen kelapa dan istirahat dan shalat menuju masjid, selalu
melewati tumpukan botol-botol yang sudah kosong isinya itu.
Saya tidak ingat, apakah orangtua memasukkan saya di SMP Muhammadiyah 1
setelah lulus SD, juga karena adanya rasa khawatir orangtua akan
bertemunya saya dengan anak-anak kampung tersebut.
Yang jelas setelah lulus SD, saya dimasukkan ke Sekolah Muhammadiyah
favorit di Klaten, dan saya tidak berani bertanya. Saat saya kecil,
memang masih banyak yang meyakini bahwa sekolah tinggi juga susah
mencari pekerjaan.
Oleh karena itu, kata mereka, daripada percuma sekolah biasanya para
tetangga memilih "menyekolahkan" anak-anak mereka ke Jakarta sebagai
penjual es puter dan tukang bangunan. Jarang yang sekolah tinggi.
Kalaupun ada, kebanyakan hanya sampai SMP. Kalau beruntung, ada yang
sekolah di SMA/STM/SMEA.
Dari ratusan keluarga, hanya beberapa yang mau menyekolahkan anaknya
hingga ke Perguruan Tinggi. Salahsatunya keluarga saya. Setelah SMP
Muhammadiyah 1 Klaten, saya pun akhirnya meneruskan "ngaji" ke SMA
Muhammadiyah 1 Klaten.
Di sekolah ini, selain menjadi Ketua OSIS, saya juga terpilih sebagai
Ketua Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Klaten dalam
Musyda (Musyawarah Daerah) IPM Klaten.
Sayangnya, saya harus meninggalkan kota kelahiran saya ini, karena harus meneruskan kuliah
dan bekerja Surabaya-Jakarta lebih dari 20 tahun lamanya sampai saat ini.
Tahun 2006, saya bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah dan belasan tokoh
lain ikut membidani lahirnya pengajian terbatas berlokasi di samping
rumah dinas Gubernur DKI, yang hanya diikuti oleh kalangan wartawan,
artis, pengusaha, serta profesi unik lainnya misalnya pelawak,
budayawan, dan lain sebagainya. Dari komunitas ini, tanpa diduga, saya
akhirnya justru lebih banyak bertemu tokoh-tokoh yang ngefans PKS.
Diam-diam, sebagian artis-artis yang ikut pengajian ternyata banyak
ngefans ke PKS. Hebatnya, mereka tidak terganggu oleh propaganda anti
PKS yang tetap ada di mana-mana. Termasuk dari saya.
Akan tetapi jika melihat kehidupan para artis yang ngefans ke PKS, saya
akhirnya jadi penasaran, kenapa mereka mau saja aktif dan membantu
aktifitas parpol itu, bahkan mau menjadi ikon beberapa programnya? Di
beberapa televisi, saat itu memang banyak iklan sosial dari PKS, dan
sebagian artis yang nongol di TV tersebut adalah kawan-kawan saya di
pengajian. Meski begitu, saya tetap saja membenci.
Rancu, Sok Kerja dan Terlalu Percaya Diri
Partai ini menurut saya, banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang rancu,
sok kerja, dan terlalu percaya diri. Boleh saya bilang, overacting,
Bagaimana tidak? Di mana-mana mereka sok bangga mengenakan atribut PKS.
Shalat pakai kaos PKS. Orang ngaji, kaos PKS. Orang gotong-royong, kaos
PKS.
Bahkan sepakbola juga pakai kaos PKS. Anehnya, para PKS lovers itu
tampaknya tidak risih mengenakan kaosnya meski tidak dalam masa
kampanye. Kondisi itu jelas berbeda jauh misalnya, ketika saya tanyakan
kepada warga yang katanya hanya mengenakan kaos pemberian Partai lain,
sekedar kalau hanya mendekati kampanye saja. Kondisi itu jelas menambah
kebencian saja. Saya pikir, PKS lovers ini terlalu fanatik.
"Sialnya", beberapa kali kegiatan sosial yang saya lakukan di pinggiran
Jakarta serta beberapa kota kecil di daerah bersama komunitas, malah
saya selalu bertemu dengan relawan PKS di lokasi. Setiap penyerahan
bantuan, di sana banyak relawan PKS bersama warga.
Pemandangan ini jelas menjengkelkan. Karena saya pikir kegiatan sosial
ini jadi mirip ditunggangi Parpol, maka kemudian saya mencoba mencari
lokasi lain yang tidak ada relawan PKS-nya. Sayang, tak pernah
menemukan. Dalam hati saya, kenapa semua tujuan kegiatan sosial saya,
selalu bertemu dengan relawan PKS?
Bahkan para artis yang ikut kegiatan sosial juga heran, kenapa
lokasi-lokasi yang saya sendiri memilihnya--dipilih oleh pembenci PKS,
ternyata akhirnya juga di sanalah berkumpul para relawan PKS. Saya
menyerah. Saya menyerah. Pokoknya menyerahkan bantuan ya diserahkan
saja. Gak peduli mau ada PKS atau tidak. Saya akui, nyaris saya tak bisa
menghindari dari para relawan PKS yang bangga dengan kaos lengan
panjangnya itu.
Benci Jadi Cinta
Tahun 2007, ketika banjir besar melanda Jakarta, titik kebencian saya
kepada PKS mencapai titik kulminasinya. Maaf, lebih tepatnya, mulai
surut. Saat itu, rumah keluarga kami di Jakarta Barat tenggelam.
Lagi-lagi, relawan PKS memenuhi sudut perumahan. Perahu karet, perahu
darurat, baju bekas dan bantuan makanan, banyak disuplai oleh mereka.
Yang membedakan dari yang lain, relawan-relawan ini begitu santun dan
cepat dalam mengambil tindakan, dan tahu harus melakukan apa ketika
melihat korban bergelantungan di teras-teras rumah, ketika korban ingin
menyelamatkan harta bendanya. Persis apa yang dilakukan petugas
penyelamat di film Titanic, para relawan itu berteriak-teriak ke semua
rumah, memastikan apakah ada korban yang perlu ditolong...
Ajakan itu, malah membalik kebencian saya menjadi cinta. Betapa hebatnya...
*) Mustofa B. Nahrawardaya, saat ini menjadi Caleg PKS DPR RI Jateng V
___
sumber: http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/03/04/jangan-pilih-pks
No comments:
Post a Comment